Tuesday, August 12, 2008

Pengelolaan sampah mandiri

MODEL PENGELOLAAN SAMPAH ORGANIK
source: http://djamaludinsuryo.multiply.com/journal/item/10/MODEL_PENGELOLAAN_SAMPAH_ORGANIK

Sampah organik yang dihasilkan oleh sebuah rumah tangga atau 1 kepala keluarga (KK) yang beranggota 5 orang (Bapak, Ibu, 2 anak dan 1 pembantu) setiap hari kurang lebih 2 kg. Kalau sebuah Rukun Tetangga (RT) terdiri dari 40 KK dan sebuah Rukun Warga (RW) terdiri dari 10 RT, maka bisa dihitung berapa jumlah sampah organik yang memerlukan pengelolaan selanjutnya, atau biasa disebut “dibuang”.

Untuk mengubah pola pikir bahwa sampah kita tanggung jawab kita yang menghasilkan, dan mengubah kebiasaan membuang sampah menjadi mengelola sampah perlu upaya yang tidak mudah dan memerlukan waktu dan kesabaran.

Dari pengalaman dan pembelajaran, Kebun Karinda menawarkan sebuah model bagi RT/RW yang ingin mandiri dalam pengelolaan sampah organiknya, namun untuk keberhasilannya diperlukan beberapa syarat:

1. Kegiatan ini diorganisir oleh pemimpin masyarakat setempat (Ketua RT/RW), dibantu sebuah tim pelaksana (Komite Lingkungan).

2. Ada keteladanan dari para pemimpin masyarakat, tokoh masyarakat, pemuka agama yang menjadi panutan masyarakat setempat.

3. Dibangun komitmen di antara seluruh warga, lingkungan bagaimana yang ingin dicapai.

4. Ada pendampingan agar kegiatan berkelanjutan, kader/motivator yang mendampingi harus sudah berpengalaman melakukan pengomposan.

5. Proses pengomposan dipilih yang tidak menimbulkan bau ialah proses fermentasi.

Sampah organik rumah tangga yang segar dan lunak, sangat mudah dikomposkan. Pengomposan dapat dilakukan secara individual di setiap rumah atau secara komunal oleh Komite Lingkungan RT/RW.

Pengomposan Individual

Kebun Karinda menyarankan pengomposan dengan metode Takakura. Jika dilakukan dengan benar dalam proses tidak ada bau busuk, tidak keluar air lindi, dan higienis. Tidak memerlukan tempat luas, tetapi tidak boleh kena hujan atau sinar matahari langsung.

Wadahnya bisa keranjang cucian isi 40 L atau lebih dikenal dengan Keranjang Takakura, ember bekas cat atau kaporit (isi 25 L), drum bekas yang dipotong menjadi 2 bagian (isi 100 L), keranjang rotan atau bambu yang isinya lebih dari 25 L untuk mempertahankan suhu kompos. Pemilihan wadah tergantung bahan yang tersedia, selera dan banyaknya sampah setiap hari.

Sampah organik dipisahkan dari sampah anorganik (kegiatan ini disebut “memilah sampah”) kemudian dicacah menjadi berukuran 2 cm x 2 cm agar mudah dicerna mikroba kompos. Untuk menyerap air dan menambah unsur karbon, ditambahkan serbuk kayu gergajian.

Sampah harus dimasukkan wadah kompos setiap hari (sebelum menjadi busuk) dan diaduk sampai ke dasar wadah supaya tidak becek di bagian bawah. Pengadukan juga dimaksud untuk memasukkan oksigen yang diperlukan untuk pernapasan mikroba kompos.

Jika wadah sudah penuh, kompos harus dimatangkan atau distabilkan dahulu sampai suhunya menjadi seperti suhu tanah, baru bisa dipanen. Pengomposan dimulai lagi dengan wadah lain, dengan aktivator sebagian kompos yang masih panas dari wadah pertama.

Kompos setengah jadi ini bisa juga dikirim ke pengomposan komunal untuk diproses bersama-sama. Sebagian ditinggal dalam wadah untuk dijadikan aktivator.

Warga akan mendapat hasil panen kompos, atau membelinya dengan harga khusus.

Pengomposan Komunal

Memerlukan bangunan tanpa dinding, atapnya bisa dari plastik terpal, daun kirai, plastik gelombang, genteng dan sebagainya tergantung dana yang tersedia. Lantainya bisa tanah, semen atau paving blok. Kita bisa menyebutnya sebagai “Rumah Kompos”.

Untuk wadah pengomposan sampah organik rumah tangga dapat dibuat bak atau kotak dari bambu, kayu, paving blok, bata dan sebagainya. Agar dapat menyimpan panas, kotak harus memiliki volume paling sedikit 500 L atau memiliki panjang 75 cm, lebar 75 cm dan tinggi 1 m. Salah satu sisinya harus bisa dibuka, untuk mengeluarkan adonan kompos jika seminggu sekali dibalik. Banyaknya kotak tergantung jumlah sampah yang akan dikelola.

Hal penting agar tempat pengomposan bersih dan tidak berbau busuk, sampah yang masuk hanya sampah organik saja. Warga harus memilah sampahnya di rumah masing-masing (mematuhi UU Pengelolaan Sampah).

Di depan rumah tidak perlu ada bak sampah, tetapi disediakan dua wadah sampah untuk sampah organik dan anorganik. Petugas pengangkut sampah mengambilnya dengan gerobak sampah yang diberi sekat. Sampah organiknya diturunkan di Rumah Kompos.

Selanjutnya oleh sampah organik dicacah secara manual atau dengan mesin pencacah. Jika menggunakan mesin pencacah, agar sampah tidak mengeluarkan air dan untuk menambahkan unsur karbon, dicampurkan terlebih dahulu serbuk kayu gergajian. Jika pencacahan secara manual, serbuk kayu dicampurkan sebelum masuk wadah pengomposan. Aktivator yang digunakan adalah kompos yang belum selesai berproses sehingga mikrobanya masih aktif.

Adonan kompos dari sampah organik rumah tangga jika diaduk setiap hari, akan matang dalam waktu kurang lebih 10-14 hari, namun harus distabilkan dahulu sampai suhu menjadi seperti suhu tanah, kira-kira makan waktu 2 minggu.

Jika akan dikemas sebaiknya diayak terlebih dahulu untuk memisahkan bagian yang kasar.

Jika tanah yang tersedia cukup luas dan sampahnya cukup banyak, pengomposan dapat dilakukan dengan sistem open windrow yaitu dengan timbunan-timbunan yang dibalik dan disiram setiap minggu.

Kompos setengah jadi yang dikirim oleh warga dicampurkan ke adonan kompos yang sudah berusia kurang lebih 2 minggu, dan akan matang bersama-sama.

Kualitas Kompos

Kompos yang dibuat melalui proses termofilik aerobik dan terkendali seperti ini, kualitasnya “super”. Kaya akan unsur yang diperlukan tanaman untuk tumbuh subur.

Kompos yang berkualitas baik berwarna hitam, berbau tanah, tekstur seperti tanah, kelembaban 30-40%, keasaman netral. Harganya bisa lebih dari Rp.1000/kg, bahkan Rp.2000/kg. Jika ingin ditingkatkan lagi harganya, kita bisa membibit dan menjual tanaman bunga, sayuran dan tanaman obat yang dipupuk dengan kompos buatan sendiri.

Tim Pelaksana

Dibentuk Komite Lingkungan oleh Pengurus RT/RW dan selanjutnya diperlukan peran serta warga sehingga kegiatan ini menjadi Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat.

Tugas dan tanggung jawab masing-masing:

1. Komite Lingkungan:

- Relawan yang peduli lingkungan, memiliki kemampuan dan waktu.

- Mengorganisasi warga dalam kegiatan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat.

- Melatih dan meningkatkan keterampilan kader sebagai motivator dan tenaga pelaksana pengomposan.

- Mengendalikan proses pengomposan agar dihasilkan kompos yang memenuhi syarat.

2. Dewan Kelurahan, Tim Penggerak PKK dan Karang Taruna

- Menjadi relawan kader lingkungan, sebagai motivator dalam kegiatan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat.

- Para kader/motivator harus sudah melakukan pengomposan.

- Mengajarkan dan menggerakkan warga untuk memilah sampah.

- Pendampingan dalam proses pengomposan di rumah tangga.

3. Petugas Pelaksana Pengomposan

- Merupakan tenaga tetap yang melaksanakan proses pengomposan.

Usaha Mandiri RT/RW

Untuk mewujudkan unit pengelolaan sampah ini perlu disusun proposal yang disusun oleh Pengurus RT/RW, yang berisi kebutuhan sarana dan prasarana, SDM, jadwal pelatihan TOT kader/motivator, prospek ke depan. Diharapkan kegiatan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat ini nantinya dapat mandiri dari penjualan kompos dan produk-produk turunannya (tanaman hias, sayuran, tanaman obat).

Lingkungan menjadi bersih, teduh dan asri, masyarakat terjaga kesehatannya karena pengelolaan sampah merupakan bagian dari perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).

Mudah-mudahan tulisan ini dapat memberikan inspirasi bagi Pengurus RT/RW yang ingin mandiri dalam mengurus sampah warganya. Tentunya tingkat keberhasilan akan lebih tinggi jika aparat di atasnya (Lurah, Camat Bupati/Walikota) dan instansi terkait ikut berperan serta dengan memberikan dorongan dan apresiasi.

Friday, August 1, 2008

Sampah, sampah, dan sampah

Sekarang ini di Taman Tirta Cimanggu (TTC) sudah susah membuang sampah, padahal sampah adalah salah satu produk rumah tangga yang hampir tiap hari tercipta. Beraneka macam sampah dari plastik, kertas, botol, sisa makanan, sisa olahan makanan menjadi produknya. Apabila dari satu rumah tangga di TTC kita asumsikan menciptakan sampah sebanyak 0,5 kg perhari, maka dari 180 rumah tangga menghasilkan 90 kg perharinya. Apabila seminggu diangkut 2X, pada hari Senin dan Kamis maka akan terjadi penumpukan sampah sebanyak (dari selasa-kamis) adalah 3 X 90 kg = 270 kg sampah, kemudian dari jumat sampai senin 4 x 90kg = 360kg sampah. WOW! Memang angka-angkanya ga mesti seperti itu, tapi itulah gambaran sampah yang "tercipta" di TTC. Onggokan sampah itu akan dibuang kemana? TTC tidak punya tempatnya (TPS) karena pihak developer ternyata kelihatan seperti "enggan" merealisasikan pembangunan TPS sesuai dengan site plan perumahan yang sudah disahkan oleh Pemda Kota Bogor. Padahal TPS masih termasuk pada fasum dan fasos perumahan.

Sewaktu memilih rumah, saya kira setiap orang akan melihat pada site plan, berpegangan pada site plan. Jadi sudah selayaknya calon pembeli rumah di TTC sudah mengetahui dimana TPS akan dibangun, dimana sarana ibadah dipersiapkan lahannya, dimana sarana pendidikan ditempatkan, dan lain-lain perencanaannya. Semua perencanaan diajukan ke Pemda untuk di sah kan. Jadi apabila sudah di sah kan, adalah merupakan kewajiban bagi pihak developer untuk mewujudkannya. Sementara dalam hal ini, masalah sampah, yang merupakan produk yang tidak bisa dihindari oleh setiap rumah tangga tidak bisa dibuang ke TPS untuk kemudian diangkut oleh DLHK ke TPA. Pernah terdengar kabar ada "kesepakatan" antara developer dengan beberapa pengurus RT untuk mengganti kewajiban membangun TPS menjadi mobil pick up bekas. Ternyata mobil inipun tidak terwujud, hanya saya pernah melihatnya nangkring beberapa hari di sekitar komplek tapi belum pernah diserahterimakan ke pengurus RT. Lalu? kemana harus membuang sampah? Saya kira harus ada alternatif pemecahan masalah yang tepat sehingga kita terbebas dari sampah.

Sampah memang "menjengkelkan" tapi... bukankah kita sendiri yang menciptakan sampah? Bisakah kita merubah hal yang "menjengkelkan" seperti sampah menjadi hal yang berguna? Dari beberapa media yang telah saya baca (berarti saya belum praktek) sampah bisa diolah menjadi hal lain yang bermanfaat, sehingga produk sampah sesungguhnya menjadi ciut, dari sekitar 90kg perhari memungkinkan menjadi sepertiganya, sisa sampah tersebut saya kira adalah sampah yang tidak bisa didaur ulang seperti plastik, botol, dll. Eh! bukankah sampah tersebut bisa dijual? Jadi produk sampah kita diolah menjadi kompos, dan yang tidak bisa diolah tapi laku dijual mah dijual saja. Kompos pun bisa dijual kan? captive marketnya adalah warga TTC dulu, kalo produksi berlimpah bisa dijual ke luar komplek.

Alternatif mengelola sampah memang seolah nambah pekerjaan bagi pengurus RT, tapi pelaksananyakan bisa saja warga sekitar perumahan sehingga itung-itung mengurangi angka pengangguran. Pengurus RT memang harus "memaksa" warga agar mau memilah-milah sampah menjadi 2 atau 3 kategori, maksudnya agar tidak terlalu membebani pekerja dalam menyortir sampahnya, sehingga pekerjaan bisa lekas terlaksana. Mengelola sampah memang perlu tempat, bukankah site plan TPS bisa dimanfaatkan? untuk masalah bau, menurut yang saya baca bisa dihilangkan apabila pengelolaan sampahnya benar, dan ada cairan EM4 untuk menghilangkan bau tersebut. Apabila lokasi TPS dinilai kurang pas, kurang besar, bisakah kita menggunakan tanah perumahan TTC yang terletak diluar komplek, yang berukuran hampir sekitar 1000 meter persegi itu? Dengan luas seperti itu, warga bisa mengelola sampah dengan lebih baik karena akan diusahakan dampak sampah itu berkurang.

Nah, silakan untuk lebih jelasnya baca juga beberapa referensi berikut:

www.idepfoundation.org/indonesia/idep_wastegroup.html

www.majarikanayakan.com/2007/12/teknologi-pengolahan-sampah/

www.walhi.or.id/kampanye/cemar/sampah/peng_sampah_info/

http://id.wikipedia.org/wiki/Kompos

hasanpoerbo.blogspot.com/2006/05/mari-membuat-kompos-skala-rumah-tangga.html

www.pustaka-deptan.go.id/agritek/ppua0117.pdf

http://petanidesa.wordpress.com/2007/02/03/cara-membuat-effective-microorganism-em/

http://djamaludinsuryo.multiply.com/

http://clearwaste.blogspot.com

sampahbandung.blogspot.com/2006/05/membuat-kompos.html

......
Akhir kata selamat membaca dan mari kita urus sampah kita dengan benar dan menjadikannya manfaat bagi kita.

Sunday, April 13, 2008

Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat 2008

Hasil Pengitungan Suara di TPS 007, Kelurahan Mekarwangi, Kecamatan Tanah Sareal

Lantuan suara khas petugas PPS "Tiii....ga" sering terdengar sewaktu penghitungan suara di TPS 007 berlangsung. Terkadang diselingi dengan lantuan suara yang tegas pendek-pendek menyebutkan angka "satu", dan "dua". Dua paling jarang terdengar disebut oleh petugas. Petugas PPS terlihat semangat dalam melaksanakan tugasnya di bawah tenda yang sederhana, walaupun suasana terasa gerah. Hujan yang turun pada hari sabtu diwaktu siang hingga sore tidak menyisakan kesejukan. Lapangan Olah Raga Perumahan Taman Tirta Cimanggu ramai dikunjungi warga yang berduyun-duyun menuju TPS 007 untuk melaksanakan tugasnya menentukan pilihan Gubernur dan Wakilnya untuk masa 5 tahun kedepan.

Disekitar TPS 007, warga RT 03 RW 13 mengadakan Bazaar pertama sebagai ungkapan turut memeriahkan "Pesta Demokrasi". Bazaar tersebut yang ramai dikunjungi warga TTC dan masyarakat di luar perumahan TTC menyediakan berbagai macam makanan, minuman, pakaian bahkan tanaman hias. Animo penjual dan pembeli menghendaki supaya kegiatan Bazaar diadakan secara berkala. Well..... panitia yang terdiri dari ibu-ibu warga RT 03 siapkah anda dengan permintaan ini?

Kembali ke Laptop...... eh, TPS. Sekitar jam satu lebih beberapa menit, penghitungan suara dimulai dengan hasil sebagai berikut:

Jumlah Suara yang memilih 338 suara.

1. Da'i memperoleh 79 suara.
2. Aman memperoleh 65 suara.
3. Hade memperoleh 163 suara.

Sedangkan suara tidak sah sebanyak 31 suara.

Selama penghitungan berlangsungterdapat beberapa komentar warga yang cukup "menggelitik" untuk berbagi disini, seperti:
"Yang aku tahu sih cuma 'Bodrex'..... yang lain mah aku gak kenal", jadi Dede Yusuf mendapatkan berkah dari seringnya iklan Bodrex menyapa pemirsa lewat TV sehingga dia dikenal hingga ke masyarakat bawah.
"Kalo aku sih, siapapun yang jadi pemimpin.... tetep aja aku mah jadi kuli bangunan", saya kira kesadaran seperti inilah yang harus dimiliki warga sehingga mereka tidak tergoda untuk secara membabi buta mendukung calon pilihannya bahkan terkesan nyawa pun rela diberikan agar calonnya jadi terpilih. Suatu pengorbanan yang sangat besar, padahal tidak ada jaminan apabila calonnya terpilih dia akan memperoleh "sesuatu" manfaat secara langsung.

Demikian hasil perolehan suara di TPS 007, Mekarwangi, Kecamatan Tanah Sareal.

Sunday, February 17, 2008

Masyarakat dan pilkada

Masyarakat Bogor sebentar lagi akan menghadapi dua pilkada, yaitu pilkada Walikota Bogor dan pilkada KDH tingkat I yaitu pemilihan Gubernur Jawa Barat. Masyarakat sudah mulai bisa membaca spanduk dan poster yang terpasang di beberapa sudut kota “memperkenalkan” calon-calon yang bakal bertarung dalam arena pilkada. Pemasangan spanduknya pun belum jor-joran masih sebatas mengantisipasi event yang sedang berlangsung dengan memberikan ucapan selamat seperti puasa ramadhan dan lebaran, karena memang jadwal kampanye belum dimulai.

Pemasangan spanduk dengan menyebutkan nama calon memang ada “indikasi” untuk melakukan sosialisasi pada masyarakat, agar mengenal calon pemimpin masa depannya. Masyarakat haruslah mengetahui siapa saja calon yang akan berlaga dalam arena pilkada, karena masyarakat akan menentukan siapa pemimpin mereka nantinya. Masyarakat akan melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Maka dalam spanduk yang terpasang tertulis nama dan ada gambar diri calonnya.

Calon peserta pilkada merasa perlu agar profile dan aktifitasnya diketahui masyarakat sehingga mereka memasang spanduk dan terkadang sepak terjangnya terekam dalam berita di koran-koran. Adalah suatu pemikiran yang logis apabila makin sering kegiatan calon peserta pilkada terekam oleh media massa, terutama dalam kegiatan sosial yang peduli pada kehidupan rakyat kecil, akan menaikan pamor calon dimata masyarakat pemilihnya. Masyarakat akan semakin sering membaca kegiatan tentang calon dari media massa sehingga masyarakat akan mempunyai gambaran bahwa calon tersebut cocok dengan pilihannya.

Kegiatan yang dilakukan calon menjelang pilkada haruslah bisa dibedakan oleh masyarakat, apakah ada tujuan dibalik peliputan tersebut? Dalam hal ini pejabat incumbent yang mengajukan diri kembali dalam pilkada yang akan datang, mempunyai kesempatan lebih luas dan pemahaman kondisi masyarakat lebih baik dibandingkan dengan calon lainnya. Terlebih lagi nama dan gambarnya sudah dikenal masyarakat dengan luas. Pejabat incumbent bisa mendapatkan peliputan dan sorotan yang lebih banyak dibandingkan dengan calon lainnya. Apalagi bagi calon yang namanya baru muncul menjelang pilkada dan belum pernah terlibat dalam kegiatan birokrasi. Upaya calon yang berada diluar sistem tersebut harus lebih keras lagi supaya dikenal masyarakat karena secara logis memang “kalah” daripada calon yang sedang menjabat dalam pemerintahan.

Pengenalan masyarakat terhadap calon peserta pilkada tidak hanya dari nama dan gambar dirinya saja, tetapi juga profile calon, kegiatan-kegiatan calon yang nyata dalam membangun masyarakat dan daerahnya. Upaya memperkenalkan diri dan kegiatan yang biasa dilakukan calon bisa melalui berbagai cara seperti pembuatan spanduk, brosur, dan pencetakan stiker serta lain-lainnya. Satu hal yang penting dan efektif adalah adanya peliputan media massa terhadap kegiatan-kegiatan calon peserta pilkada. Media massa seperti koran dan televisi termasuk ampuh dalam mengangkat keberadaan calon keatas pentas, karena daya sebar media massa yang serentak dan meliput wilayah yang luas. Materi yang diliput dalam media massa berupa berita, gambar, cuplikan film, dan mungkin juga beberapa tanya jawab antara masyarakat dengan calon. Masyarakat sekarang semakin pintar dan memiliki informasi yang luas, sehingga calon peserta pilkada jangan terlalu menggantungkan harapan akan terpilih oleh masyarakat hanya karena namanya lebih dikenal dan gambarnya terpampang dibanyak spanduk di sudut-sudut kota. Calon peserta pilkada sebaiknya mulai melakukan sosialisasi tentang visi dan misi nya dalam menjalankan pemerintahan. Hendak dimana kemana rakyat ini dan apa yang akan dilakukan selama menjabat sebagai kepala daerah. Masyarakat yang kritis dan berpikir logis akan lebih memilih calon yang mempunyai tujuan yang jelas dan realistis dalam menjalankan pemerintahannya.